Judul : Mutual Affinities: Islam in Southeast Asia and the Arab World |
Jurnal : Israel Journal of Foreign
Affairs |
Volume & Halaman : 6:1 & 73-89 |
Tahun : 2012 |
Penulis : Moshe Yegar & Yvette Shumacher (diterjemahkan dari Bahasa Ibrani) |
Reviewer : Lina
Nur Khofifah |
Tanggal : 09 April 2020 |
Artikel yang berjudul Mutual Affinities : Islam in Southeast Asia
and the Arab World yang termuat dalam Israel Journal of Foreign Affairs ditulis
oleh Moshe Yegar yang merupakan seorang pensiunan Kementerian Luar Negeri
Israel yang kemudian menjadi dosen di Universitas Yerussalem ini berisi tentang
hubungan timbal balik Islam di Asia Tenggara dan Dunia Arab dari sisi historis
sejak kemunculan Islam di Asia Tenggara melalui perdagangan dan asimilasi,
kedekatan di masa modern di bidang ekonomi dan budaya, serta hubungan timbal balik
dari berbagai konflik yang muncul seperti pemberontakan oleh kaum minoritas
Islam di beberapa negara di Asia Tenggara.
Dalam teks asli artikel ini
menggunakan bahasa Ibrani yang kemudian diterjemahkan oleh Yvette Shumacher ke
dalam bahasa Inggris yang kemudian oleh reviewer diterjemahkan kembali dalam
bahasa Indonesia. Secara keseluruhan, artikel ini menggunakan pembahasan yang
langsung ke dalam inti setiap sub pembahasan, sehingga cukup memudahkan pembaca
meskipun penulis tidak menyertakan abstrak dan pendahuluan, namun langsung
menuju ke topik pembahasan.
Reviewer menilai artikel ini
bertujuan untuk membuktikan bahwa hubungan dunia Islam di Asia Tenggara banyak
dipengaruhi oleh Islam dari dunia Arab. Hubungan ini memiliki keterikatan yang erat
terlihat dari beberapa aspek kehidupan Islam Asia Tenggara seperti aspek
religi, ekonomi, sosial, dan budaya bahkan tak jarang mempengaruhi kehidupan
politik negara-negara muslim di Asia Tenggara. Hubungan kedekatan timbal balik
dunia Islam tidak selalu berkaitan dengan aspek-aspek yang telah disebutkan,
namun dalam beberapa waktu, terdapat gejolak gerakan Islam yang disinyalir
berasal dari dunia Arab yang kemudian diupayakan oleh negara-negara muslim di
Asia Tenggara mencoba untuk menangkalnya. Artikel ini ingin menunjukkan
dinamika kedekatan yang terkadang menjadi bumerang baik bagi dunia Islam di
Asia Tenggara maupun bagi dunia Islam di Jazirah Arab.
Pembahasan
Penulis mengawali paragraf pertama
mengenai pernyataan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara merupakan
pembahasan yang luar biasa bagi sejarah Islam. Proses Islamisasi di Asia
Tenggara memang berbeda dengan wilayah lain yang menggunakan kekerasan, perang,
penaklukan wilayah ataupun gencatan senjata. Berbeda dengan Islamisasi di Asia
Tenggara yang menggunakan cara damai. Proses islamisasi di Asia Tenggara
menurut artikel ini bermula pada abad ketujuh hingga abad ke sepuluh ketika
para saudagar dari Semenanjung Arab mulai ekspansi dalam berdagang dengan
tujuan syiar Islam dengan cara non-militer dan tidak melakukan paksaan kepada
penduduk lokal untuk mengikuti ajaran komunitas Muslim ini. Hingga untuk tetap
memepertahankan pengaruhnya, para pedagang Muslim ini menikah dengan penduduk
setempat hingga menjadi keluarga dan komunitas yang besar. Pada abad ke sepuluh
secara bertahap komunitas Muslim ini berhasil mengambil alih perdagangan
rempah-rempah yang kemudian monopoli ini justru diusik oleh kedatangan Portugis
pada abad ke-16.
Dalam artikel ini dibahas pula
bahwa saat komunitas Muslim mulai datang ke Asia Tenggara dimana penulis
memfokuskan pada dua negara Muslim yang besar yaitu Malaysia dan Indonesia,
saat itu kedua negara ini masih berbentuk kerajaan, hingga para penguasa
berhasil diislamkan, maka rakyatnya akan turut mengikuti keputusan pemimpinnya
secara sukarela. Dengan munculnya Islam di Asia Tenggara, penduduk lokal tidak
terbentuk untuk hidup dalam perbudakan, berbeda saat koloni Eropa datang pada
abad ke-16 saat penyebaran agama Kristen sering disertai dengan penaklukan
kekerasan terhadap penduduk asli.
Dalam artikel ini dibagi menjadi
sub pokok pembahasan, yaitu :
1. Pengaruh
Budaya dan Agama
Pengaruh agama Islam di Asia
Tenggara tersebar ke wilayah Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, Myanmar dan
Thailand. Ide-ide agama Islam pada abad ke-19 dan ke-20 berkembang melalui
ulama yang belajar ke negara-negara di Jazirah Arab. Terlepas dari itu, ada dua
aliran pemikiran Islam tertentu yaitu Sufisme dan Modernis. Gerakan kaum
modernis menjadi kekuatan intelektual, politik dan pendidikan yang penting yang
berisi aktivis dan guru yang datang dari Mesir dan Arab Saudi. Setelah Perang
Dunia II, seiring dengan berakhirnya pemerintahan kolonial dan kemerdakaan
negara-negara Asia Tenggara, terdpat ekspansi yang luar biasa dalam bidang
pendidikan menengah maupun tinggi di negara-negara Asia Tenggara. Elemen
penting dalam pengembangan ini adalah intensifikasi dalam hubungan timbal balik
antara Asia Tenggara dan negara-negara Arab. Siswa-siswa terutama yang berasal
dari Malaysia dan Indonesia, mendapatkan kesempatan untuk belajar ke
negara-negara Arab ataupun negara-negara Arab memberikan dukungan penuh
terhadap pendidikan di Asia Tenggara. Di Malaysia dalam beberapa tahun
terakhir, literatur agama dan buku-buku Arab serta jurnal telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Melayu dan disebarkan secara luas.
2. Pengaruh
Politik dan Koneksi Ekonomi
Hubungan politik Muslim Asia
Tenggara dan Arab sampai PDII berpusat pada pertanyaan tentang pembatalan
kekhalifahan di Turki oleh Kemal Ataturk. Pemerintah kolonial saat itu tidak
menginginkan adanya pengaruh agama-politik dari ibadah haji ataupun studi di
lembaga Islam Arab. Hal itu karena ketakutan akan meningkatnya perasaan
keagamaan dan sekembalinya para peziarah ini akan membawa fanatisme
agama-politik. Di antara dua perang dunia, sering terjadi kerusuhan politik dan
propaganda dan dikhawatirkan mereka yang pergi untuk melanjutkan studi agama di
Institusi Arab akan terpengaruh oleh atmosfer berbagaya dan akan membawa
kepentingan politik dan agama. Di bawah pemerintahan Soekarno, Indonesia
memilih jalan sekuler yaitu membatasi peran agama dan mencegahnya pengaruh
asing dalam kebijakan domestik. Soeharto pun sama, ia berhati-hati untuk
memantau kekuatan politik Muslim dan takut akan pengaruh yang tidak diinginkan
seperti Revolusi Iran dan gerakan teroris Arab. Terdapat tiga konflik di antara
negara Arab setelah PDII yang mendapat perhatian pemerintah Muslim di Asia
Tenggara yaitu pengucilan Mesir setelah penandatanganan Camp David Accord
dengan Israel, Perang Iran-Irak dan pendudukan Kuwait oleh Irak. Dalam setiap
permasalahan ini Indonesia dan Malaysia berupaya untuk menfasilitasi negosiasi
damai untuk menyelesaikan konflik tersebut. Revolusi Iran pada tahun 1979
menimbulkan kekhawatiran di Asia Tenggara karena khawatir akan membahayakan
warga negara sendiri akibuat kerusuhan tersebut.
Sampai PDII dan berakhirnya
kolonial, hubungan ekonomi antara Dunia Arab dan Asia Tenggara masih terbatas
tanpa industri ataupun modal. 1960-an ada peningkatan kegiatan ekonomi dan
peningkatan pemberian hibah oleh negara-negara Arab untuk membangun masjid dan
organisasi politik dan pendidikan Islam untuk kegiaan dakwah. Libya melakukan
hal yang sama memberikan dukungan keuangan. Pada 1970-an sejumlah besar pekerja
diberangkatkan dari Asia Tenggara ke negara-negara Arab. Penguatan hubungan
secara signifikan disebabkan adanya organisasi muslim internasonal salah
satunya OKI (Organisasi Konferensi Islam) bertujuan untuk memperkuat
solidaritas Islam, melindungi tempat suci, mendukung Palestina, dll.
3. Pemberontakan
Minoritas Muslim
Sejak akhir Perang Dunia II,
pemberontakan dan gangguan telah terjadi di banyak negara Muslim. Dalam
beberapa dekade terakhir, gerakan Islam radikal muncul dari negara-negara Arab
yang berhasil merekrut penganut di banyak negara Muslim, termasuk Asia
Tenggara. Tiga gerakan pemberontakan Muslim di Asia Tenggara dan kontak mereka
dengan negara-negara Arab sangatlah penting. Gerakan tersebut yaitu Komunitas
Muslim Filipina (Moro), komunitas Muslim Melayu Thailand Selatan (Muslim
Pattani), dan Muslim Rohingya Arakan Utara di Burma Barat/Myanmar. Ketiganya
memiliki argumen teologis untuk membenarkan pendirian mereka guna memberontak
terhadap pemerintah mayoritas/pusat. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam
masing-masing gerakan pemberontak dalam aspek latar belakang sejarah, aspirasi
dan tujuan serta efektifitas operasionalnya. Gerakan pemberontak menggunakan
taktik peperangan gerilya untuk mencapai tujuan mereka. Namun tiga gerakan ini
memiliki perbedaan dalam hal kualitas kepemimipinan yang dimiliki. Misalnya,
Arakan tidak menghasilkan pemimpin yang dapat membangun jaringan yang
menghubungkan mereka dengan badan-badan muslim internasional ataupun
negara-negara Islam, sedangkan Muslim Patani dan Moro berhasil melakukannya
karena mereka adalah mahasiswa dan akademisi yang memperoleh pembalajaran agama
yang lebih tinggi di negara-negara Arab.
Muslim yang hidup sebagai minoritas
di lingkungan non-muslim sering merasa bahwa mereka tidak diterima hak dalam
mengekspresikan kedaulatannya dan cenderung separatis karena menganggap konflik
sebagai jihad dan perang suci. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya bantuan
dari Arab Saudi dan Libya Qadhafi. Intervensi-intervensi dari pihak lain
seperti lembaga islam internaional justru diinginkan oleh Pemerintah Filipina
dalam negosiasi dengan para pemberontak, sedangkan Thailand dan Myanmar justru
menentang adnaya intervensi tersebut sehingga OKI dan elemen Arab lainnya hanya
menunjukkan sedikit minat untuk terlibat lebih jauh.
Kesimpulan
Di arena politik dan hubungan luar
negeri, ikatan antara Malaysia dan Indonesia serta gerakan separatis Moro
dengan organisasi muslim internasional khususnya OKI patut diperhatikan. Faktor
yang membuat negara-negara Arab memiliki
pengaruh yang kuat di Asia Tenggara dewasa ini adalah peningkatan kekuatan di
arena internasional dari awal 1970-an dari aspek jumlah mereka yangbesar,
kekayaan negara yang dimiliki dan adanya radikal muslimisme. Solidaritas muslim
internasional semakin kuat dalam beberapa dekade terakhir. Penolakan terhadap
keterlibatan negara-negara Arab dalam urusan negara yang mengalami
pemberontakan oleh komunitas muslim yaitu Thailand, Filipina, dan Myanmar.
Namun justru Filipina melakukan upaya ini untuk bernegosiasi dengan kelompok
pemberontak. Sedangkan Thailand tidak begitu peka bahkan Myanmar mengabaikannya
sama sekali. Namun, jelas bahwa umat Islam di Asia Tenggara, baik Indonesia dan
Malaysia dan di antara minoritas Muslim telah menjadi bagian integral dari
kebangkitan global muslim secara umum dan meningkatnya solidaritas Islam.
Keunggulan
- Alur yang sistematis.
Penulis menjelaskan dengan runtut peristiwa dari awal mula masuknya Islam
hingga munculnya berbagai permasalahan di dunia Islam dewasa ini
- Bahasa yang mudah dipahami.
Penyampaian yang cukup sederhana meskipun beberapa kali menggunakan diksi
yang kurang mampu dipahami oleh orang awam
- Argumen dan analisis
yang logis.
Saran
Saran yang saya
berikan berangkat dari beberapa kekurangan dalam artikel ini, yaitu:
·
Pembahasan
cukup bertele-tele dan beberapa terdapat pengulangan, maka sebaiknya
disederhanakan agar pembaca tidak jenuh
·
Pembahasan
dalam setiap sub pokok pembahasan kurang terintegrasi. Maka sebaiknya, ketika
membahas dalam sub pokok pembahasan dapat menjelaskan aspek yang sama pada
negara yang dibahas. Misalnya, dalam pembahasan pemberontakan minoritas Islam
perlu mencantumkan Malaysia dan Indonesia yang justru dituliskan pada bagian
akhir kesimpulan. Begitupun sebaliknya dalam sub pokok pembahasan pengaruh agama
dan budaya perlu mencantumkan bagaimana pengaruhnya di negara selain Indonesia
dan Malaysia
·
Waktu
kurang dituliskan dengan jelas kapan pemberontakan terjadi dan hanya menuliskan
pasca PDII maka sebaiknya dituliskan masing-masing pemberontakan dan bagaimana
hasil terkini saat artikel tersebut dituliskan
·
Tidak
ada tokoh-tokoh yang disebutkan maka sebaiknya dicantumkan untuk semakin
melengkapi artikel ini dan menambah pemahaman pembaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar